enderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam
karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari
pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen
dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada
tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota
Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah
menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi
Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober
1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk
sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966,
Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden
Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta
mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena
situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang
Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden,
dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah
lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia
mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
residen RI Kedua HM Soeharto
wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang
oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional,
itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak
4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan
Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu
(27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan
siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27
Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian
sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta.
Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan
keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek
mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan
Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di
sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak
tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah
mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55,
Minggu (27/1).
Seementara itu, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri
yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan,
menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di
Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji
Muhammad Soeharto.
Presiden Ketiga, Habibie (1998-1999)
Presiden
ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di
Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak
keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan
RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun
Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu
Ilham Akbar dan Thareq Kemal.
Masa kecil Habibie dilalui bersama
saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas
berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak.
Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan
bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena
serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah
ke Bandung untuk menuntut ilmu di
Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol
prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie
menjadi sosok favorit di sekolahnya.
Setelah tamat SMA di bandung
tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di Bandung (Sekarang
ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische Hochschule, Jerman
tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari tempat yang sama
tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua orang anak.
Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut
Teknologi Bandung.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh
kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak
sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi
Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman,
beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB
Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat
terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di
industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi
panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.
Di
Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT,
memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi
Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi
Presiden RI menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan
presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai
akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang
memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau
pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke
Jerman.
Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang :
* VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
* Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
* CN - 235
* N-250
* dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
• Helikopter BO-105.
• Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
• Beberapa proyek rudal dan satelit.
Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :
* 1976 - 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 - 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 - 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 - 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 - 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
* 1983 - 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 - 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 - 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 - 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret - 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 - Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia
Presiden Keempat, Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Gus
Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik
Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim
adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren
Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri
Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya
ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H.
Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua
ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun
1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya
diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim
pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya.
Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang
profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus
berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan
pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid.
Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia
politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai
isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan
memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan
April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah
Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang
pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan.
Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian
ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam
kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif
berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus
Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan
buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak
hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana
tentang filsafat dan dokumen-dokumen
manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh
satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian,
tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak
bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya
adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang
mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun
1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu
pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di
Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya
di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan
seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur.
Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama
kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim
Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca
al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada
saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di
sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang
mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa
Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa
dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur
dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan
mencintai musik klasik.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur
dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia
masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok
di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik
Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah
ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa
terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota
dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah
dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat
subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP,
dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan
anggota Muhammadiyah lainnya.
Setamat dari SMEP Gus Dur
melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah.
Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh
dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur
dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik.
Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke
kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren
ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat
santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah
mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam
kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut
diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang
diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan
mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian
tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas,
hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia
pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren
Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo,
Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak
Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik
pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi
ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci,
untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk
melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di
Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam
Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah
persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata
pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan
informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh
buku-buku yang dikehendaki.
Meski demikian, semangat belajar
Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk
belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar
doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab
semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak
membutuhkan gelar tersebut.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu,
Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971,
tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng
Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng,
dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali
menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan
tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa
Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang
dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada
tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu
di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini
Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada
sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam
maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.
Pada
tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren
Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai
wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan
perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur
semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus
pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri
dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun
1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa
al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki
jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan
tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak
Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan
ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI
ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak
hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin
yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa
Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh
K.H. Abdurrahman Wahid.
Presiden Kelima, Megawati (2001-2004)
Presiden
Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta,
23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil
Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati
adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator,
Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot
Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki
bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu
tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro
bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara,
sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak
berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama
Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya
bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani.
Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa
kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya
Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering
ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita
bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai
pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta.
Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga
politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya --
tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat
dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan
dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada
tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya
sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa
Tengah, untuk mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah
politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk
tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu
ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI,
walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara
untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada
tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi,
kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya,
Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang
sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat
kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan
lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi
politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak
langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik.
Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat
mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini
merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan
berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung
Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama
Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang
didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI.
Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh
Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan
menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya,
pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI.
Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres
PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi
Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak
mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua
Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol
keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega
tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan
kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman
akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian
menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi
benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu
tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah
mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap
Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.
Mega
terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan
PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega.
Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim
Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai
politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil
memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara.
Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi
presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR
1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah
tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi
sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun,
tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan
Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman
Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis
masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden
dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk
kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono
yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.
Presiden Keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Susilo
Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden
sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20
September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini
lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama
Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn)
Sarwo Edhi Wibowo.
Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah
anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah
prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu.
Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes
Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti
Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari
Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan
Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang
yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).
Pendidikan
SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika
duduk di bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab
dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di
kemudian hari AMN berubah nama menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri
Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi
anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras,
SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara
dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri)
setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat
mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY pun sempat menjadi
mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).
Namun
kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan
Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang
itu, beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya
masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan
akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah,
Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang
mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih
predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan
lencana Adhi Makasaya.
Pendidikan militernya dilanjutkan di
Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976),
Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS
(1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di
Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984),
Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung
(1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth,
Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS.
Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai
Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi
Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad)
tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.
Batalyon
Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri
Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam
berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri
Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara
328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak.
Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan
lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat
Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia,
1975. Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan Komandan
Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305
Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di
Timor Timur.
Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan
Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, beliau
ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad
(1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban
Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY
kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982
hingga 1983, beliau mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort
Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di
82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle
Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan
Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan
SBY menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
Lalu
beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan
Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti
pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan
keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989. SBY pun sempat menjadi
Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD
(Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal
Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, beliau
ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri)
Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).
Lalu, beliau kembali
bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri
Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama
dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya
(1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995). Tak
lama kemudian, SBY dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk
menjadi perwira PBB (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat
Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force)
yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia
berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia
Herzegovina. Setelah kembali dari Bosnia, beliau diangkat menjadi
Kepala Staf Kodam Jaya (1996). Kemudian menjabat Pangdam II/Sriwijaya
(1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR
(Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial
(Kaster) ABRI (1998-1999).
Sementara, langkah karir politiknya
dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih
dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri
Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman
Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya
sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam.
Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan
melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11
Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam.
Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak
politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan
nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua 20
September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih
kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas
60 persen. Dan pada tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi
Presiden RI ke-6.
Berikut ini data lengkap tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono
Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949
Agama : Islam
Jabatan : Presiden Republik Indonesia ke-6
Istri : Kristiani Herawati, putri ketiga (Alm) Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo
Anak : Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono
Ayah : Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji
Ibu : Sitti Habibah
Pendidikan :
* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
Karier :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar