PENYEBAB KONFLIK DAYAK DAN MADURA
Penduduk asli Kalimantan Barat adalah Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan nelayan Selain suku asli, suku lainnya yang juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu, Cina, Madura, Bugis, Minang dan Batak.
Dalam
berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia
atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat
pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya
masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di
antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara dengan orang
Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh Orang
Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.
Kebudayaan
yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu
konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang
terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996
yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo,
Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten
Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit
terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu,
pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota
Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah di
Kalimantan Tengah.
Orang
Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang
Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai
penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang
peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah
warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena
tipudaya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau
bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat
pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang
Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah
lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura menelola tanah dan
menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya suatu konflik2.
Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu cirri yang dominan dalam mata
pencarian yaitu kebanyakan bergantung pada kehidupan bertani atau
berladang. Dengan masuknya perusahaan kayu besar yang menggunduli
kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya dalam bidang
perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih
orang pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang
demikian menyebabkan masyarakat adat merasa terpinggirkan atau
tertinggalkan dalam kegiatan perekonomian penting di daerahnya mereka
sendiri. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan
mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar
pemicu timbulnya konflik di antara mereka.
Ketidakcocokan
di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah
menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari
kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis.
Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan
tidak harmonis.
Ketidakadilan
juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang
tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran
hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan
pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini
pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang
Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.
Konflik
adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)
yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Kekerasan adalah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau
sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental sosial atau
lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara
penuh3
Dari
definisi di atas, dapat dikatakan bahwa antara konflik dengan
kekerasan bagaikan dua sisi mata pedang yang terpisahkan satu dengan
yang lainnya manakala konflik yang terjadi tidak segera diselesaikan
sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan kekerasan yang dapat merusak
secara material maupun immaterial.
Konflik
adalah suatu kenyataan yang tidak terhindarkan jika pihak-pihak yang
bertentangan tidak memiliki pemahaman yang terhadap satu sama lain dan
tujuan serta kebutuhan mereka tidak dapat lagi sejalan. Perbedaan
pendapat yang terjadi di antara keduanya pada dasarnya adalah hal yang
alami, namun jika tidak terkendali akan menjadi pemicu timbulnya
kekerasan yang merusak kedua belah pihak bahkan lingkungan sekitarnya.
Untuk itu diperlukan penyelesaian yang memberikan semangat damai pada
kedua belah pihak. Jika konflik yang menyebabkan timbulnya kekerasan
dapat diselesaikan tanpa melakukan kekerasan memberikan suatu rasa damai
dan aman pada masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, jika diselesaikan
juga dengan kekerasan yang membabibuta akan menyebabkan timbulnya rasa
takut, tidak aman, kepanikan bagi orang sekitarnya, khususnya bagian
dari masyarakat yang bertikai. Permasalahan baru juga akan timbul dari
penyelesaian dengan jalan kekerasan. .
Selanjutnya
Simon Fisher dkk, mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan
sebagai suatu pendekatan dalam intervensi konflik yang menyebutkan bahwa
konflik adalah fakta kehidupan yang dapat memunculkan
permasalahan-permasalahan berat saat kekerasan muncul dalam konflik
tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok yang
menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang
anti kekerasan. Kelompok yang pro kekerasan cenderung untuk memaksakan
kehendaknya agar dituruti orang lain ketika cara lain yang ditempuh
gagal. Sedangkan kelompok anti kekerasan cenderung percaya bahwa
kekerasan tidak akan mampu mendatangkan manfaat yang diharapkan
diharapkan, sehingga penggunaan
kekerasan dirasa tidak bermanfaat dan tidak adil. Secara praktis
tindakan-tindakan anti kekerasan dilakukan masyarakat yang menerapkan
metode anti kekerasan secara mutlak mereka lebih percaya bahwa metode
anti kekerasan yang diterapkan dalam suatu konflik akan lebih berhasil
dalam situasi yang mereka hadapi sendiri.
Menganalisa
lebih lanjut tentang konflik horizontal yang terjadi pada beberapa
wilayah di Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan
dengan teori Simon Fisher, dapat dikatakan bahwa sebagian besar
masyarakat di daerah konflik cenderung memilih jalan kekerasan sebagai
alternative penyelesaian masalah yang muncul di antara mereka. Mereka
menganggap cara ini lebih membuat pihak lawan memenuhi keinginan mereka.
Identitas
yang terancam sebagai suatu suku asli Kalimantan yang terusik oleh
kedatangan pendatang membuat suku Dayak mengambil sikap keras. Ditambah
lagi dengan tidak adanya perubahan sikap dari masyarakat pendatang. Hal
ini jelas terlihat pada dampak yang terjadi pasca konflik horizontal
Dayak dan Madura. Mereka tidak melihat dampak dari kekerasan bagi
masyarakat mereka sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda, tetapi yang
terpenting adalah keluarnya orang Madura dari wilayah mereka.
Menyimak
lebih jauh tentang konflik horizontal yang juga disebut sebagai
konflik etnis yang bersifat laten (tersembunyi) yang harus diangkat ke
permukaan agar dapat ditangani secara efektif. Disebut sebagai konflik
yang bersifat laten karena di antara kedua etnis yang bertikai (Dayak
dengan Madura) sudah lama terjadi
ketidakharmonisan dalam interaksi sosialnya. Suku Dayak sebagai suku
asli Kalimantan merasa terusik kehidupannya dengan semakin meningkatnya
populasi suku Madura yang juga mendominasi hampir seluruh aspek
kehidupannya.
Ketidakharmonisan
dalam interaksi sosial antara kedua etnis ini tidak cepat mendapat
penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun oleh aparatur
pemerintah agar dapat ditangani. Pada pertikaian yang terjadi terlihat
adanya keberpihakan dari aparat kepada salah satu etnis menurut pendapat
etnis lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada akhirnya menjadi
konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.
Konflik
yang dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di
identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya benturan budaya
etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya
tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan
oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.
PENANGANAN YANG DILAKUKAN
Lemahnya
supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada
masyarakat Madura. Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih
tidak terkendali lagi seperti terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan,
pembakaran dan pengusiran yang berkepanjangan, maka untuk sementara
waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :
- Untuk etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya dikeluarkan atau diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka karena tidak ada jaminan untuk itu. Terlebih dengan tidak cukupnya aparat keamanan menjangkau wilayah rawan konflik.
- Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak ditentukan karena tidak adanya suatu jaminan perubahan sikap dari etnis Madura dan juga dikhawatirkan adanya tindakan balas dendam secara langsung maupun tidak langsung.
Sikap
ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat
karena adanya keterbatasan aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh
wilayah Propinsi Kalimantan, maka demi keamanan kedua belah pihak untuk
sementara suku Madura harus dilokalisir pada daerah yang lebih aman.
Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang terjadi ini dilakukan
juga beberapa cara yaitu :
(1) Untuk
sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan
Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan
terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang
akan membakar kemarahan kedua belah pihak;
(2) Rehabilitasi bangunan
yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur
masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan
masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu
mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
(3) Re-evakuasi
dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu
perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung
oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
(4) Dialog
antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat
masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri
konflik yang berkepanjangan;
(5) Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu
dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu
selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
2
Simon Fisher, Dekka Ibrahim Abdi dkk. “Working With Conflict;
Skills& Strategies for Action, New York, 2002.Responding To
Conflict.
3
Simon Fisher, Dekka Ibrahim Abdi dan kawan. “Working With Conflict;
Skills & Strategies for Action, New York, 2002. Responding To
Conflict.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar